Sabtu, 21 Januari 2012

Kesenian Daerah




TANJIDOR
Salah satu jenis musik Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa. Pada musik Tanjidor alat musik yang paling banyak dimainkan adalah alat musik tiup, seperti klarinet, piston, trombone serta terompet. Jenis musik ini muncul pada abad ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Namun akhir-akhir ini musik Tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu agung. Merupakan suatu ansambel musik yang namanya lahir pada masa penjajahan Hindia Belanda di Betawi (Jakarta). Kata “Tanjidor” berasal dari kata dalam bahasa Portugis tangedor, yang berarti "alat-alat musik berdawai (stringed instruments)". Tetapi dalam kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik (tonesystem)dari tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata(twelve equally spaced tones). Ansambel Tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti berikut: klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur).
Pemain-pemainnya terdiri dan 7 sampai 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik Eropa tersebut, untuk memainkan reportoir laras diatonikmaupun lagu-lagu yang berlaras pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik. Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempuma lagi memainkan laras diatonikyang murni, maka adaptasi pendenga  ran lama kelamaan menerimanya pula.
Para pemain Tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa di luar Kota Jakarta, seperti di daerah Tangerang, Indramayu dll. Dalam membawakannya, mereka tidak dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dan mana asal-usulnya. Namun semua diterimanya secara aural dari orang-orang terdahulu. Ada kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik. Dengan demikian peralatan musik Tanjidor yang ditemui kemudian tidak ada yang masih baru, kebanyakan semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
Pada zaman dahulu dikala musim mengerjakan sawah, mereka menggantungkan alat-alat musik Tanjidor di rumahnya begitu saja pada dinding gedeg atau papan, tanpa kotak pelindung. Setelah panen selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat kembali dengan alat-alat Tanjidor mereka, untuk kemudian menunjukkan kebolehannya bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam Kota Jakarta, Cirebon, melakukan pekerjaannya yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ngamen atau mengamen. Musik Tanjidor ini lazimnya akrab dengan perayaan Cina, Cap Co Meh; di Cirebon, terdapat pada jalan masuk kompleks masjid serta Makam Sunan Gunung Jati: merayakan hari besar Islam, atau hari sedekah bumi yang menjadi tradisi masyarakat petani di Cirebon. Diantara lagunya yang terkenal adalah Warung Pojok.
Diantara lagu-lagu lain yang sering dibawakan oleh orkes Tanjidor, antara lain Kramton, Bananas, Cente Manis, Keramat Karam (Kramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dll. Lagu Keramat Karam lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan banyak korban. Lagu-lagu tersebut dimainkan atas dasar keinginan masyarakat kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan dianggap 'lagu baru' pada masa itu. Adapun Lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda berirama mars.
Asal Usul Tanjidor : Tanjidor sebagai satu jenis kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Mengenai asal usul dan sejarah munculnya kesenian ini terdapat beberapa pendapat yang berbeda-beda. Menurut peneliti sejarah Paramita Abdurrachman, dalam bahasa Portugis terdapat kata tanger yang berarti "memainkan alat musik". Seorang tangedorhakikatnya seorang yang memainkan alat musik berdawai di dalam ruangan. Istilah tangedores kemudian berarti brass band yang dimainkan pada dawai militer atau pegawai keagamaan.
Sampai sekarang di Portugal tangedores mengikuti pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon, tangga124 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling dan aneka macam terompet.  Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan Tanjidor.
Ernst Heinz, seorang ahli Musikologi Belanda yang mengadakan penelitian musik rakyat di pinggiran Kota Jakarta tahun 1973, berpendapat bahwa musik rakyat daerah pinggiran itu berasal dari budak belian yang ditugaskan main musik untuk majikannya. Mula-mula pemain musik terdiri atas budak dan serdadu. Sesudah perbudakan dihapuskan, mereka digantikan pemusik bayaran. Tetapi yang jelas para pemusik itu orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, diberi alat musik Eropa dan disuruh menghidangkan bermacam musik pada berbagai acara. Alat musik yang dipakai kebanyakan alat musik tiup, seperti klarinet, terompet Perancis, komet dan tambur Turki.
Pada mulanya mereka memainkan lagu-lagu Eropa karena harus mengiringi pesta dansa, polka, mars, lancier dan lagu-lagu parade. Lambat laun mereka juga mulai memainkan lagu-lagu dan irama khas Betawi. Instrumen yang kuat-kuat ini bisa dipakai turun-temurun. Setelah pemain tidak lagi menjadi bagian dalam rumah tangga orang Barat, lahirlah rombongan-rombongan amatir yang tetap menamakan diri “Tanjirdor”.
Ahli sejarah Batavia lama, Dr. F. De Haan berpendapat bahwa pemusik keliling ini berasal dari orkes-orkes budak zaman Kompeni. Dalam karyanya berjudul Priangan, de Haan menunjukkan catatan tentang Cornelia de Bevers yang mempunyai 59 orang budak belian dalam tahun 1689. Pembagian kerja di antara para budak itu, antara lain "Tiga atau empat anak laki-laki berjalan di belakang saya dan suami saya kalau kami berjalan keluar, ditambah budak perempuan sejumlah itu pula". Pada waktu makan pasangan suami isteri itu didampingi lima sampai enam budak pelayan meja, kemudian masih ada lagi tiga orang budak laki-laki yang masing-masing bertugas memainkan bas, biola, dan harpa sebagai musik pengiring makan.
Valentjn juga menyebutkan tentang konser-konser yang dimainkan oleh budak. Umumnya mereka memakai instrumen berdawai. Orkes-orkes itu makin lengkap ketika para pemain diberi tambahan alat tiup. Nekara (pauken), tambur Turki dan triangle, seperti halnya orkes milik Gubernur Jenderal Valckenier (1737) yang berkekuatan 15 orang. Sedang Anfreas Cleyer seorang pejabat tinggi Kompeni, mengatakan "mempunyai kelompok musik lengkap di rumahnya, melulu dari budak-budak yang ahli memainkan segala alat musik. .. ". Banyak sumber menyebutkan bahwa orkes rumah tersebut ikut dilelang apabila majikannya meninggal.
LENONG
Jenis kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang mengambil tema cerita kepahlawanan atau kriminal yang dibawakan dalam dialek Betawi. Disamping itu, Lenong juga sering membawakan kisah-kisah jagoan atau cerita yang diambil dariHikayat 1001 Malam. Lenong Betawi dikatakan juga sebagai teater bangsawan atau istana dengan musik pengiringnya Gambang Kromong. Dalam pertunjukkannya, Lenong menampilkan sebuah cerita atau lakon, dengan dilengkapi gerak dan lagu serta lawakan yang menggelitik. Lakon dimainkan babak demi babak dan diselingi musik serta lagu.
Merupakan hasil perkembangan dari teater tutur Gambang Rancag. Jumlah pemainnya tidak terbatas, tergantung dari cerita yang dibawakan, dengan pakaian yang biasa, tetapi mencerminkan keadaan sebenarnya sesuai dengan lakon yang dibawakan. Pemain pria disebut panjak dan pemain wanita disebut ronggeng. Sebelum sandiwara dimulai, dilakukan upacara khusus yang disebut ungkup, berisikan pembawaan doa dan sesaji. Setelah itu dilakukan upacara sambutan yang disebut sepik, yaitu penjelasan lakon sandiwara. Pada kesempatan ini seluruh pemain tampil untuk diperkenalkan. Kemudian acara selanjutnya inti sandiwara yang dimainkan babak demi babak, yang disisipi hal-hal bersifat humor dan diiringi musik. Lawakan dan musik ini adalah bagian khas dari pertunjukkan Lenong. Pada awalnya jenis teater ini memperlihatkan unsur-unsur Cina, karena sebagaimana Gambang Kromong, jenis kesenian ini dibina dan dikembangkan oleh masyarakat Cina.
Pada Lenong, dekor disesuaikan dengan babak cerita yang dimainkan. Pertunjukannya diawali dengan permainan Gambang Kromong, yang membawakan lagu-lagu baku sebagai berikut: dimulai dengan tetalu, dimainkan lagu-Iagu berirama Mars yang berfungsi sebagai alat pemanggil penonton. Kemudian dimainkan acara Hormat Selamet dengan membawakan lagu Angkat Selamet. Dalam acara ekstra, lagu yang dibawakan antara lain: Jali-jali, Persi, Stambul, Cente Manis, Seret Balok, Renggong Manis, dll.
Pertunjukkan Lenong diiringi orkes Gambang Kromong dengan berbagai alat musik. Alat musik pukulnya Gambang, Kromong (sejenis bonang), gendang, kempur, kecrek, gong; alat musik geseknya shu kong (sejenis rebab besar) atau teh yan (rebab kecil); dan alat tiupnya trompet, suling dan akordeon. Lagu-lagu pengiring pertunjukkan ini terdiri atas lagu cina (misalnya siPatmo, Phobin Cu Tay) dan lagu Betawi (misalnya Cente Manis, Jali-Jali). Lagu-lagu ini menggunakan tangga nada pentatonis doremi.
Umumnya pertunjukkan Lenong dimainkan di atas panggung yang disebut pentas tapal kuda. karena pemainnya masuk ke arena pertunjukan dari sebelah kiri dan keluar arena dari sebelah kanan, sedang penontonnya melihat hanya dari bagian depan. Masyarakat Betawi sering mementaskan pertunjukan lenong dalam perayaan perkawinan atau khitanan. Kini pertunjukan ini juga dipentaskan sebagai hiburan di pusat kesenian atau panggung hiburan lainnya, bahkan di televisi.
Busana dan perlengkapan yang digunakan dalam pertunjukan Lenong disesuaikan dengan jalan cerita yang dimainkan. Busana yang dikenakan ini tergolong mewah dan gemerlap. Lenong Betawi dapat dibagi menjadi dua yakni, Lenong Denes yang biasanya membawakan lakon tentang kerajaan atau bangsawan, dan lenong preman yang biasanya mengangkat cerita kehidupan masyarakat sehari-hari atau cerita tentang jagoan-jagoan Betawi. Berdasarkan cara pertunjukan, cerita yang dibawakan, masyarakat pendukungnya dsb, terdapat beberapa sebutan terhadap teater yang tergolong Lenong itu, yakni: Lenong Dines, Wayang Senggol, Wayang Sumedar, Lenong Preman dan Wayang si Ronda.
SAMRAH
Alat musik yang membentuk Samrah adalah harmonium, biola, gitar, dan tamborin. Kadang-kadang dilengkapi pula dengan rebana dan gendang. Orkes Samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian. Lagu yang dimainkan adalah Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang-lenggang Kangkung, dsb. Terdapat berbagai versi tentang asal mula disebut sebagai musik Samrah. 
Musik Samrah dilahirkan di Betawi pada tahun 1918 dan berasal dari teater Riau Dulmuluk, yang dahulu dikenal sebagai teater bangsawan. Kemudian musik itu dikenal sebagai kesenian Samrah yang menyajikan cerita-cerita rakyat. Kesenian Samrah dapat dikelompokkan menjadi empat periode yang dalam setiap periode menggunakan alat musik yang berbeda. Musik Samrah dipergunakan untuk mengiringi lagu dan tari.
Kostum yang dipakai pemain musik Samrah ada dua macam, yaitu pertama peci, jas, dan kain pelekat; atau kedua peci, baju sadariah, dan celana batik. Dewasa ini sering pula dikenakan Jung Serong (ujungnya serong) yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan di bawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul ke bawah.
Penyebaran musik Samrah terbatas di daerah budaya Betawi Tengah di Jakarta Pusat, antara lain di Tanah Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Pendukung musik ini sebagian besar adalah masyarakat dari golongan menengah, akan tetapi perkembangan kesenian ini semakin menurun dan ikut serta dalam orkes-orkes lain, seperti Orkes Keroncong dan Orkes Melayu.
SEJARAH JAKARTA
Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.
Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan.
 Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
·         Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
·         22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
·         4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
·         1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
·         8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
·         8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
·         September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
·         20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
·         24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
·         18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya.
·         Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
·         31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
·         Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)
·         Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700)
GAMBANG KROMONG
Sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes perpaduan antara gamelan, musik Barat dengan nada dasar pentatonis bercorak Cina. Orkes ini memang erat hubungannya dengan masyarakat Cina Betawi, terutama Cina peranakan dan populer di tahun 1930-an. Instrumen gamelan pada gambang kromong terdiri dari:gambang kayu, seperangkat bonang lima nada yang disebut kromong, dua buah alat gesek seperti rebab, dengan resonator terbuat dari tempurung kelapa mini disebut ohyan dan gihyan, suling laras diatonik yang ditiup melintang, kenong dan gendang. Sedangkan instrumen musik dari Barat meliputi terompet, gitar, biola, dan saksofon.
Sekitar tahun 1937 orkes-orkes gambang kromong mencapai puncak popularitasnya, salah satu yang terkenal Gambang Kromong Ngo Hong Lao, dengan pemainnya terdiri dari orang-orang Cina semua. Alat-alat musik dalam orkestra tersebut dianggap paling lengkap, terdiri dari alat-alat seperti berikut: sebuah gambang kayu; seperangkat kromong; empat buah rebab Cina yang berbeda-beda ukurannya; alat petik berdawai disebut Sam Hian; sebuah bangsing bambu; dua buah alat jenis cengceng disebut ningnong; sepasang Pan, yakni dua potong kayu yang saling dilagakan untuk memberimaat (tempo). Tangga nada yang dipergunakan, bukanlah slendro seperti laras gamelan Jawa, Sunda atau Bali, melainkan modus khas Cina, yang di negeri asalnya dahulu bernama tangga nada Tshi Che; seperti yang di dengar pada gambang.
Susunan belanga-belanga kromongnya adalah sebagai berikut :
(A) (G) (E) (D) (C)
(D) (E) (C) (G) (A)
Adapun yang disebut "rebab cina", yang berukuran paling besar dinamakansu kong, sesuai dengan laras dawai-dawainya, yang meniru nada su dan nada kong. Rebab dengan ukuran menengah disebut hoo siang, karena dawai-dawainya dilaras menurut nada hoo dan nada siang. Rebab yang paling kecil dinamakan kong a hian, sesuai dengan larasnya meniru bunyi nada-nada Cina. Rebab yang punya ukuran sedikit lebih besar dari kong a hian, ialah yang bernama tee hian, yang larasnya serupa dengan laras kong a hian.
Sam Hian adalah alat berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik seperti memainkan gitar; dan alat itu memainkan jalur melodi (nuclear melody) dalam orkes tersebut. Ketiga dawainya dilaras dengan nama nada dengan notasi demikian, apabila orkes Gambang Kromong memainkan lagu-lagu khas Cina yang disebut Pat fem, maka dipergunakan pula tambahan alat tiup berupa serunai, yakni dai sosa dan cai di (siao sona). Pada waktu pertama kali muncul di Betawi, orkes ini hanya bernama gambang. Sejak awal abad ke-20, mulai menggunakan instrumen tambahan, yaitu bonang atau kromong, sehingga orkes ini dinamakan Gambang Kromong. Pada masa itu hampir setiap daerah di Betawi memiliki orkes Gambang Kromong, bahkan tersebar sampai daerah Jatinegara, Karawang, Bekasi, Cibinong, Bogar, Sukabumi, Tangerang, dan Serang.
Bagi orang Cina kaya, tauke-tauke atau babah-babah pada masa "Batavia Centrum", sudah merupakan adat dan tradisi, untuk memeriahkan bermacam ragam pesta dan perayaan mereka, dengan memanggil perkumpulan gambang kromong untuk bermain. Misalnya pesta perkawinan, rasanya tidak sempurna kalau belum memanggil orkes seperti itu ke dalam pesta. Musik dan nyanyian dengan iringan gambang kromong, sudah lazim pula dirasakan belum cukup asam garamnya, kalau belum disertai minum arak, brendi atau alkohol. Pemain musiknya terdiri dari orang Betawi asli atau Cina.
Di dalam perayaan tradisional bangsa Cina, yaitu Cap Go Meh tidak lupa dimeriahkan dengan Gambang Kromong. Repertoar Gambang Kromong yang sangat dikenal oleh masyarakat penontonnya, antara lain: Pecah Piring, Duri Rembang, Temenggung Menulis, Go Nio Rindu, Thio Kong len, Engko si Baba, dan lain-lain. Selain itu gambang kromong, biasanya disertai pula dengan lakon-lakon, seperti: Si Pitung, Pitung Rampok Betawi, Bonceng Kawan, Angkri Digantung, dan lain-lain.
Adapun lagu Gambang Kromong yang terkenal adalah Jali-Jali. Sedangkan lagu jenis Nina Bobok kebanggaan Gambang Kromong, berJudul indung-indung. Orkes ini memiliki repertoar asli dalam bahasa Cina, yang disebut sebagai lagu-lagu Phobin. Karena para penyanyinya kebanyakan terdiri dari wanita-wanita pribumi, maka repertoar Phobin tidak dinyanyikan, melainkan dimainkan sebagai "gending" (instrumental). Hal itu, bukan karena komposisi-komposisi tersebut memang bersifat gending, karena banyak di antaranya yang benar-benar merupakan "Lied" atau lagu untuk nyanyian vokal. Di antara lagu-lagu pobin ialah: Soe Say Hwee Bin (Joo Su Say sudah kembali), Kim Hoa Tjoen (bunga Kim Hoa berkembang), Pek Bouw Tan(bunga Bow Tan nan putih), Kong Djie Lok, Djien Kwie Hwee (pulang kembalinya pahlawan bernama Siek Jin Kwie).
Pada zaman dahulu, masa Hindia Belanda orkes-orkes Gambang Kromong yang bersifat Cina-Indonesia itu, seringkali tidak mempunyai biduanita-biduanita yang dapat menyanyikan Po-bin-po-bin dalam bahasa Cina. Karena itulah lagu itu dimainkan secara instrumental saja, padahal sebagian besar harus dinyanyikan, karena merupakan melodi-melodi vokal. Lagu-lagu berbahasa Indonesia yang dimainkan oleh orkes Gambang Kromong ialah lagu memuja bunga serta tokoh, misalnya Pecah-Piring, Duri Rembang, Temenggung Menulis, Co Nio Rindu, Tion Kong In, Engko si Baba, dan selain itu cerita mengenai peristiwa lampau, umpamanya Bonceng Kawan,cerita Pitung Rampok Betawi, cerita Angkri Digantung di Betawi. Adapun salah satu lagu pengantar tidur yang populer masa itu adalah indung-indung.
Gambang Kromong sebagai sekumpulan alat musik perpaduan yang harmonis antara unsur pribumi dengan unsur Cina. Orkes Gambang Kromong tidak terlepas dari jasa Nie Hoe Kong, seorang pemusik dan pemimpin golongan Cina pada pertengahan abad XVIII di Jakarta. Atas prakarsanyalah, penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalam gamelan (pelog dan selendro) digabungkan dengan alat-alat musik yang berasal dari Tiongkok. Pada masa-masa lalu, orkes Gambang Kromong hanya dimiliki oleh babah-babah peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Di samping untuk mengiringi lagu, Gambang Kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tari pergaulan yakni tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru dan teater Lenong.
KERONCONG TUGU
Musik keroncong digemari oleh masyarakat Tugu di Jakarta Utara. Jenis musik inilah yang menjadi cikal bakal keroncong asli Betawi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Keroncong Tugu. Di tengah para pemukim Tugu, keroncong memang menemukan bentuk yang khas, dibandingkan dengan kroncong Jawa, dari segi tempo keroncong Tugu lebih cepat dan dinyanyikan lebih bersemangat. Karena itu, keroncong Tugu mudah dipakai untuk mengiringi dansa. Perbedaan lainnya, gitar Tugu lain dari yang lain. Ukurannya lebih kecil dari gitar biasa. Senarnya lima. Dan di kalangan penduduk Tugu, gilar mini ini disebut "jitera" yang dibuat dati batang pohon waru yang dibobok. Di zaman dulu, "empu" jitera yang paling termasyur adalah Leonidas Salomons - kini sudah mendiang.
Jejak-jejak Portugis yang masih terlihat dalam keroncong Tugu, di antaranya ialah lagu lama yang hampir setiap orang Indonesia pernah dilelapkan tidurnya dalam buaian atau gendongan dengan lagu tersebut, yang bernama. "Nina Bobok." Lagu ini pada masa lampau dinyanyikan pula dengan gaya keroncong. Kata "Nina" berasal dari "cilik" alias upik. Dalam zaman penjajahan di sekitar tahun tiga puluhan, penyanyi-penyanyi keroncong yang "ngamen" dari restoran ke restoran di kota Batavia, masih menyanyikan keroncong dengan bahasa Portugis.
"Bastiana, Bastiana
Bastiana minja our
Bastiana lensu
Komigu pinhor
Nang querflce tristo
Ficai concolaad
Com Algum dia mais
La fica djuntead ... "

Artinya:
"Bastiana, Bastiana
Bastiana, mestikaku
Setangan Bastiana
Ada bersamaku sebagai tanda
Jangan bersedih,
Tetapi, senangkan hatimu
Karma tak lama pula,
Kita akan bersatu."
Kertabhumi Negara
Dari blantika keroncong Tugu, tak bisa dilupakan nama Jacobus Quiko, yang pada tahun 1975 menerima piagam penghargaan Gubernur DKI Jakarta. Dialah, sejak 1939, memimpin Orkes Keroncong Tugu yang terbilang unik itu. Bersamanya, dikenal Tante Christina, biduanita yang menerima penghargaan yang sarna setahun sebelumnya. Moresco tentulah "lagu wajib" yang tak bisa dipisahkan dari keroncong Tugu. Moresco asli bercerita tentang seorang perawan Muslim asal Moro, yang kemudian termasyur sebagai penari. Ada sepenggal kuplet Moresco dalam dialek Tugu: Anda-anda na bordi de mare/Mienja korsan nunka contenti/Io buskaja mienja amadal Nunka sabe ela ja undi. Adapun maknanya: Jauh-jauh mengarungi samudra/Hatiku tak pernah ceria/Terus mencari belahan sukma/Tapi kini di manakah dia. Selain Moresco, terdapat sejumlah lagu lain, yaitu: Kafrinyo, Prounga, Jankagaletti.
ONDEL-ONDEL
Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering tampil dalam pesta-pesta rakyat. Permainan boneka khas masyarakat Betawi ini berupa boneka raksasa yang dimainkan oleh seseorang yang masuk ke dalam boneka tersebut sambil menari-nari menurut irama musik pengiringnya. Dalam menari biasanya ondel-ondel ini berpasangan, boneka laki-laki dan boneka wanita, tetapi ada juga ondel-ondel anak-anak. Tampaknya Ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya. Oleh karena itu, Ondel-ondel dapat dikatakan sebagai dayang desa.
Ondel-ondel adalah semacam boneka besar yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang diberi pakaian dan perhiasan seperti pengantin. Ukurannya ada yang besar dan ada yang sedang, umpamanya tinggi sekitar 5 meter dengan diameter 80 cm. Wajah ondel-ondel berupa topeng (kedok) sepasang, laki-laki dan perempuan bermuka seram. Menurut kepercayaan masyarakat Betawi ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan ketentraman manusia dan juga sebagai kelengkapan ritual sesudah musim memotong padi. Namun dalam perkembangannya, ondel-ondel sekarang digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat atau penyambutan tamu-tamu terhormat. 
Ondel-ondel selalu ditampilkan berpasangan, kadang kala beberapa pasang sehingga merupakan barisan Ondel-ondel. Tidak ada musik khusus yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan ondel-ondel, ada yang menggunakan gendang pencak Betawi, musik ningnong, tanjidor, gambang kromong, dan rebana ketimprung. Biasanya terdiri dari ondel-ondellaki-laki (wajahnya dicat merah) dan ondel-ondel perempuan (wajahnya dicat putih). Bentuknya ringan sehingga mudah dalam membawanya di mana orang yang membawa masuk ke dalamnya. Ondel-ondel ini sudah diwariskan secara turun-menurun sejak lima generasi yang lalu.
Menurut kisahnya, diduga permainan ondel-ondel berusia lebih tua daripada permainan kedok atau topeng. Permainan' ondel-ondel berasal dari pengaruh Hindu yang membuatnya sebagai lambang dewa-dewa penyelamat. Pada awalnya permainan ini digunakan untuk pemujaan arwah nenek moyang atau tokoh yang dihormati.
 Namun sekarang ini ondel-ondel lebih mengarah ke segi hiburan, seperti pada pesta panen, penyambutan tamu atau pesta khitanan. Bahkan berbagai tempat hiburan, misalnya Dunia Fantasi, menyediakan beberapa pasang ondel ondel, biasanya bersama badut, untuk menghibur pengunjungnya. Dalam pementasannya ondel-ondel diiringi alat musik berupa kendang, kenong dan terompet.
Ondel-ondel ditampilkan pada berbagai perayaan desa seperti pesta panen, penyambutan tamu serta berbagai perayaan resmi lainnya. Di daerah lain di Jawa boneka raksasa seperti itu dikenal juga dengan bentuk yang berbeda, antara lain di sekitar Gresik dan Madura. Maksud dan tujuan sebenarnya mengadakan arak-arakan Ondel-ondel ternyata masih bertahan hingga saat ini, dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.
GAMBANG RANCAG
Pergelaran Gambang Rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan atau dinyanyikan, diiringi orkes Gambang Keromong. Sejak awal perkembangannya gambang rancag biasa memeriahkan pesta-pesta, terutama dalam lingkungan terbatas, Biasanya dipentaskan tanpa panggung, tempat pementasan letaknya sejajar dengan penonton yang berada disekelilingnya.
Cerita-cerita yang dibawakan rombongan Gambang Rancag biasanya mengenai peristiwa yang mengesankan bagi warga kota, seperti "Si Pitung", "Angkri", "Delep" dan lain-lain. Sering pula disajikan sketsa kehidupan atau gambaran sesuatu kehidupan, seperti rancangan "Randa Bujang". Pada tahun dua puluhan juru Rancag Pergelaran Gambang Rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan atau dinyanyikan, diiringi orkes Gambang yang terkenal antara lain Jian, seorang tuna netra yang memiliki suara "serak-serak basah", kata orang Betawi. Apabila dia sedang berpantun menceritakan hal ikhwal "Si Pitung", misalnya, atau tentang "Keramat Karem" atau kisah-kisah lain dengan iringan lagu "Persi", para penonton seakan-akan menahan nafas karena khawatir ada kata-kata yang luput dari pendengarannya.
Dari dahulu sampai sekarang pantun-pantun yang dibawakan rombongan-rombongan Gambang Rancag disusun secara improvisasi, tanpa cerita rombongan tertentu. Sering disesuaikan dengan tempat dan keadaan waktu pergelaran. Kadang-kadang dipanjang-panjangkan, disertai bumbu-bumbu lelucon, untuk menambah kegembiraan penonton. Lebih-lebih kalau malam semakin larut, para perancag berusaha menghilangkan kantuk penonton dengan lawakan-lawakan tanpa direncanakan terlebih dahili, mimik dan artikulasi memberikan tekanan-tekanan pada cerita atau lawakan yang dibawakan.
Tokoh-tokoh gambang Rancag dewasa ini antara lain Samad Modo dengan Jali alias Jalut dan Ma'in sebagai lawan mainnya, di Pekayon, Entong Dale dengan Bedeh di Cijantung, Jakarta Timur: dan Amsar bersama Ali dan Minggu di Bendungan Jago, Jakarta Pusat. Samad Modo, Amsar dan Rame Reyot telah mendapat penghargaaan Gubernur KDKI Jakarta, sebagai seniman tua yang bertahan salama tiga jaman.
Pada jaman lampau, penyebaran Gambang Rancag sama luasnya dengan penyebaran Gambang Kromong, karena masing-masing rombongan gambang kromong dilengkapi pula dengan juru Rancag. Dewasa ini sudah tidak banyak lagi seniman Gambang Kromong yang pandai merancag.
GAMBUS
Hampir di semua kota di Indonesia yang penduduknya banyak memeluk Agama Islam, biasanya lahir musik Gambus. Berdasarkan pengamatan, musik Gambus tampaknya lebih banyak dimainkan oleh warga keturunan Arab. Hal ini mungkin terkait dengan lagu-Iagu yang ditampilkan pada awalnya umumnya bersyair dalam bahasa Arab.
Di Jakarta, jenis musik ini telah menjadi milik masyarakat Betawi. Musik Gambus biasa ditampilkan dalam berbagai acara, dari pesta perkawinan sampai dengan acara kenegaraan resmi yang bernuansa Agama Islam.
Peralatan musik Gambus bervariasi, namun yang baku pada umumnya terdiri dari "Gambus", Biola, Dumbuk, Suling, Organ atau Accordion dan Marawis. Selain sebagai musik mandiri, musik Gambus dipergunakan pula untuk mengiringi tarian Japin yang biasa ditarikan oleh pria berpasang-pasangan.
Pada tahun 1997 diadakan Loka Karya Musik Gambus dan merintis pengembangan menjadi sebuah orkestra yang lebih besar, dengan menggabungkan beberapa kelompok Musik Gambus yang ada di Jakarta.
Namun karena beberapa hambatan teknis, hasilnya belum menggembirakan. Tokoh-tokoh musik Gambus di Jakarta diantaranya Husnu Maad KH. Zainal Abidin Alhaddad dan Zein Alhaddad. Lagu-Iagu yang ditampilkan biasanya berbahasa Arab, contohnya lagu-Iagu Gambus yang pernah di jadikan lagu wajib lomba Qasidah Tingkat Nasional adalah "Lisaani Bihamdillah", "Yamalaakal Hub", "Solla Robbuna", "Asyroqol Badru", dan "Syarah Oala' "

GAMELAN AJENG
Lagu-lagu yang terdapat pada Ajeng Sumedang adalah "Papalayon", "Engko", Titipati, Bayeman, Papalayon Buyut, dan "Bondol Hejo". Bandingkan misalnya dengan repertoir Aleng Gandaria pimpinan Radi sebagai berikut "Carabali", "Timblang", "Gagambangan", "Matraman", "Banjaran", dan "Jiro" yang biasa digunakan sebagai berikut  "Carabali", "Timblang", "Gagambangan", "Matraman", "Banjaran", dan "Jiro" yang biasa digunakan sebagai lagu penutup.Alat musik gamelan Ajeng terdiri dari sebuah keromong sepuluh pencon, sebuah terompet, gendang (terdiri dari dua buah gendang besar dan dua buah kulanter), dua buah saron, sebuah bende, sebuah cemes (semacam cecempres), sebuah kecrek kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua buah gong; gong laki dan gong perempuan.
Gamelan Ajeng di wilayah budaya Betawi terdapat antara lain di Kelapa Dua Wetan pimpinan Oking alias Peking, Gandaria pimpinan Radi Suardi, cireundeu Kecamatan ciputat Tangerang pimpinan Neran, Pakopen Tambun Kabupaten Bekasi pimpinan Sarah, Karanggan Pondok Gede Kabupaten Bekasi pimpinan Saad.Dilihat dari lokasi penyebarannya tampak bahwa daerah penyebaran Ajeng merupakan daerah perbatasan wilayah budaya Betawi dengan wilayah budaya sunda. Dengan demikian tidak mengherankan bilamana pengaruh Sunda pada Ajeng boleh dikatakan dominanl, disamping memang Ajeng berasal dari sunda.
Namun demikian, bagaimana persamaan dan perbedaan Ajeng Betawi dengan Ajeng Sunda yang antara lain terdapat di KampungPamijahan, Panjalu di kampung Cikapas, Jalaterang, Kecamatan Kawali, keduanya di Kabupaten ciamis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.Demikian pula dengan Ajeng yang terdapat diwilayah Kabupaten Karawang yang lebih berdekatan dengan Ajeng Betawi yang semuanya terdapat di wilayah budaya Betawi pinggiran.Sebagai kesenian rakyat yang berkembang di daerah pinggiran kotaJakarta dan sekitarnya, pendukung Ajeng yang utama adalah kelompok masyarakat petani. Para pendukung aktifnya, yaitu penabuhnya tidak ada yang mengandalkan penghidupannya dari kesenian yang didukungnya itu, meiainkan pada umumnya memperoleh kebutuhan hidupnya dari usaha-usaha lain, umumnya sebagai petani kecil-kecilan.
Gamelan Ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan keluarga, seperti khitanan, perkawinan dan sebagainya. pada mulanya tidak biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tetapi pada perkernbangan kemudian digunakan pula sebagai pengiring tarian yang biasa disebut Belenggo Ajeng, sebagaimana akan dikemukakan lagi pada bagian lain dari tulisan ini.Dewasa ini, sesuai dengan perkembangan jaman dan selera rnasyarakat pendukungnya, beberapa rombongan Ajeng menambah repertoarnya dengan lagu-iagu Sunda pop, bahkan ada pula yang digunakan untuk mengiringi tarian Jaipong yang mulai dasa warsa delapan puluhan banyak penggemarnya.
SAHIBUL HIKAYAT
Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain Haji Ja'far, Haji Maruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan "Waik "Jait".  Pekerjaan sehari-hari Wak Jait sebagai tukang pangkas rambut di dekat Pasar Kambing Tanah Abang. Rumahnya di Kebon Pala, bila bercerita di rumah yang empunya hajat Wak Jait selalu menggunakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah,berpeci hitam.
Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang sambil memangku bantal, ada yang sekali-kali memukul gendangkecil yang di letakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita.Sampai jaman Mohammad Zaid yang meninggal dalam usia 63 tahun, pada tahun 1963, cerita-cerita yang biasa dibawakan antara lain "Hasan Husin, Malakarma, Indra sakti, Ahmad Muhamad, Sahrul Indra Laila Bangsawan dan lain-lain.
JINONG
Biasanya siang hari, menjelang malam pertunjukan jinong, sejak jam 9 pagi sampai waktu menjelang Maghrib, ditempat orang hajatan yang bersangkutan diperdengarkan lagu-Iagu tanjidor, baik instrumentalia maupun disertai vokal.
Upacara ritual, seperti pembakaran dupa, penyediaan sesajen serba tujuh rupa, berlaku seperti pada penyelenggaraan lenong. Tahap-tahap pertunjukan jinong adalah sebagai berikut : Pertama, penyajian musik instrumentalia dengan lagu-Iagu "Mares" dan lagu-Iagu "Was", lagu-Iagu Sunda gunung seperti "Bangket", "Kang Aji", "Oncom Lele" dan sebagainya, diteruskan dengan lagu-Iagu gaya gambang kromong atau dewasa ini sering pula dibawakan lagulagu dangdut. Ini merupakan pertanda pertunjukan akan dimulai, seolaholah mempersilahkan penonton untuk mendekati tempat pertunjukan. Kemudian dipertunjukan tarian, yang menurut istilah setempat disebut "Tari Jinong", diiringi lagu-Iagu seperti yang sesuai dibawakan orkes gambang kromong, antara lain lagu-Iagu "Persi", "Jali-jali", "Gelatik Nguknguk" dan sebagainya.
Gerak tarinya sederhana sekali, seperti umumnya gerak tari cokek, dengan rentangan tangan lebih rendah dari bahu. Cerita-cerita yang dibawakan umumnya sama dengan cerita-cerita yang biasa dibawakan Ienang preman atau wayang si ronda, yaitu ceritacerita jagoan, seperti "Si Jampang", "Si Angkri Jago Pasar Ikan" dan sebagainya. Tokoh-tokoh Jinong yang tercatat antara lain Orok di Pondok Rajeg, Warta di Cijantung, Liang di Parung. Semasa masih hidup, Nyaat di Cijantung juga sering mendapat panggilan untuk menyelenggarak pertunjukkan Jinong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar