TANJIDOR
Salah satu jenis musik
Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa. Pada musik
Tanjidor alat musik yang paling banyak dimainkan adalah alat musik
tiup, seperti klarinet, piston, trombone serta terompet. Jenis musik
ini muncul pada abad ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk
mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Namun akhir-akhir ini
musik Tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu agung.
Merupakan suatu ansambel musik yang namanya lahir pada masa
penjajahan Hindia Belanda di Betawi (Jakarta). Kata “Tanjidor”
berasal dari kata dalam bahasa Portugis tangedor, yang berarti
"alat-alat musik berdawai (stringed instruments)". Tetapi dalam
kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah
asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem
musik (tonesystem)dari tangedor, yakni sistem diatonik atau
duabelas nada berjarak sama rata(twelve equally spaced tones). Ansambel
Tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti berikut:
klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor
(tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan
side drums (tambur).
Pemain-pemainnya terdiri dan 7 sampai 10 orang. Mereka
mempergunakan peralatan musik Eropa tersebut, untuk
memainkan reportoir laras diatonikmaupun lagu-lagu yang berlaras
pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang
terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan
pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik.
Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah
tidak sempuma lagi memainkan laras diatonikyang murni, maka
adaptasi pendenga ran lama kelamaan menerimanya pula.
Para pemain Tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa
di luar Kota Jakarta, seperti di daerah Tangerang, Indramayu
dll. Dalam membawakannya, mereka tidak dapat membaca not balok maupun
not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dan mana
asal-usulnya. Namun semua diterimanya secara aural dari
orang-orang terdahulu. Ada kemungkinan bahwa orang-orang itu
merupakan bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik.
Dengan demikian peralatan musik Tanjidor yang ditemui
kemudian tidak ada yang masih baru, kebanyakan semuanya sudah
bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
Pada zaman dahulu dikala musim mengerjakan sawah, mereka
menggantungkan alat-alat musik Tanjidor di rumahnya begitu saja pada
dinding gedeg atau papan, tanpa kotak pelindung. Setelah panen
selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat kembali dengan
alat-alat Tanjidor mereka, untuk kemudian menunjukkan
kebolehannya bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari
restoran ke restoran dalam Kota Jakarta, Cirebon,
melakukan pekerjaannya yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan
ngamen atau mengamen. Musik Tanjidor ini lazimnya akrab
dengan perayaan Cina, Cap Co Meh; di Cirebon, terdapat pada
jalan masuk kompleks masjid serta Makam Sunan Gunung Jati:
merayakan hari besar Islam, atau hari sedekah bumi yang menjadi
tradisi masyarakat petani di Cirebon. Diantara lagunya yang terkenal
adalah Warung Pojok.
Diantara lagu-lagu lain yang sering dibawakan oleh orkes
Tanjidor, antara lain Kramton, Bananas, Cente Manis, Keramat Karam
(Kramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dll. Lagu Keramat Karam
lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan banyak
korban. Lagu-lagu tersebut dimainkan atas dasar keinginan masyarakat
kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan
dianggap 'lagu baru' pada masa itu. Adapun
Lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda berirama
mars.
Asal Usul Tanjidor : Tanjidor sebagai satu jenis
kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Mengenai asal
usul dan sejarah munculnya kesenian ini terdapat beberapa pendapat
yang berbeda-beda. Menurut peneliti sejarah Paramita
Abdurrachman, dalam bahasa Portugis
terdapat kata tanger yang berarti "memainkan
alat musik". Seorang tangedorhakikatnya seorang yang
memainkan alat musik berdawai di dalam ruangan.
Istilah tangedores kemudian berarti brass band yang
dimainkan pada dawai militer atau pegawai keagamaan.
Sampai sekarang di Portugal tangedores mengikuti
pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung
masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon,
tangga124 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur
sedang, seruling dan aneka macam terompet. Biasanya pawai itu
diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan.
Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang,
yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu
mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan Tanjidor.
Ernst Heinz, seorang ahli Musikologi Belanda yang
mengadakan penelitian musik rakyat di pinggiran Kota Jakarta tahun
1973, berpendapat bahwa musik rakyat daerah pinggiran itu berasal
dari budak belian yang ditugaskan main musik untuk
majikannya. Mula-mula pemain musik terdiri atas budak dan serdadu.
Sesudah perbudakan dihapuskan, mereka digantikan pemusik bayaran. Tetapi yang
jelas para pemusik itu orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah,
diberi alat musik Eropa dan disuruh menghidangkan bermacam musik pada
berbagai acara. Alat musik yang dipakai kebanyakan alat musik tiup,
seperti klarinet, terompet Perancis, komet dan tambur Turki.
Pada mulanya mereka memainkan lagu-lagu Eropa karena harus
mengiringi pesta dansa, polka, mars, lancier dan lagu-lagu parade.
Lambat laun mereka juga mulai memainkan lagu-lagu dan irama
khas Betawi. Instrumen yang kuat-kuat ini bisa dipakai turun-temurun.
Setelah pemain tidak lagi menjadi bagian dalam rumah tangga orang
Barat, lahirlah rombongan-rombongan amatir yang tetap
menamakan diri “Tanjirdor”.
Ahli sejarah Batavia lama, Dr. F. De Haan
berpendapat bahwa pemusik keliling ini berasal dari
orkes-orkes budak zaman Kompeni. Dalam karyanya
berjudul Priangan, de Haan menunjukkan catatan tentang Cornelia
de Bevers yang mempunyai 59 orang budak belian dalam tahun 1689.
Pembagian kerja di antara para budak itu, antara lain "Tiga atau
empat anak laki-laki berjalan di belakang saya dan suami
saya kalau kami berjalan keluar, ditambah budak
perempuan sejumlah itu pula". Pada waktu makan pasangan suami
isteri itu didampingi lima sampai enam budak pelayan meja, kemudian
masih ada lagi tiga orang budak laki-laki yang masing-masing
bertugas memainkan bas, biola, dan harpa sebagai musik pengiring
makan.
Valentjn juga menyebutkan tentang konser-konser yang
dimainkan oleh budak. Umumnya mereka memakai instrumen berdawai.
Orkes-orkes itu makin lengkap ketika para pemain diberi tambahan alat
tiup. Nekara (pauken), tambur Turki dan triangle, seperti halnya
orkes milik Gubernur Jenderal Valckenier (1737) yang berkekuatan 15
orang. Sedang Anfreas Cleyer seorang pejabat tinggi Kompeni,
mengatakan "mempunyai kelompok musik lengkap di rumahnya,
melulu dari budak-budak yang ahli memainkan segala alat musik. ..
". Banyak sumber menyebutkan bahwa orkes rumah tersebut ikut
dilelang apabila majikannya meninggal.
LENONG
Jenis kesenian teater
tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang mengambil tema cerita
kepahlawanan atau kriminal yang dibawakan dalam dialek Betawi. Disamping
itu, Lenong juga sering membawakan kisah-kisah jagoan atau cerita
yang diambil dariHikayat 1001 Malam. Lenong Betawi dikatakan juga
sebagai teater bangsawan atau istana dengan musik pengiringnya Gambang Kromong.
Dalam pertunjukkannya, Lenong menampilkan sebuah cerita atau lakon,
dengan dilengkapi gerak dan lagu serta lawakan yang menggelitik. Lakon
dimainkan babak demi babak dan diselingi musik serta lagu.
Merupakan hasil perkembangan dari teater tutur Gambang
Rancag. Jumlah pemainnya tidak terbatas, tergantung dari cerita yang dibawakan,
dengan pakaian yang biasa, tetapi mencerminkan keadaan sebenarnya sesuai dengan
lakon yang dibawakan. Pemain pria disebut panjak dan pemain wanita disebut
ronggeng. Sebelum sandiwara dimulai, dilakukan upacara khusus yang disebut
ungkup, berisikan pembawaan doa dan sesaji. Setelah itu dilakukan upacara
sambutan yang disebut sepik, yaitu penjelasan lakon sandiwara. Pada kesempatan
ini seluruh pemain tampil untuk diperkenalkan. Kemudian acara selanjutnya inti
sandiwara yang dimainkan babak demi babak, yang disisipi hal-hal bersifat humor
dan diiringi musik. Lawakan dan musik ini adalah bagian khas dari
pertunjukkan Lenong. Pada awalnya jenis teater ini memperlihatkan
unsur-unsur Cina, karena sebagaimana Gambang Kromong, jenis kesenian ini dibina
dan dikembangkan oleh masyarakat Cina.
Pada Lenong, dekor disesuaikan dengan babak cerita yang
dimainkan. Pertunjukannya diawali dengan permainan Gambang Kromong, yang
membawakan lagu-lagu baku sebagai berikut: dimulai dengan tetalu, dimainkan
lagu-Iagu berirama Mars yang berfungsi sebagai alat pemanggil penonton.
Kemudian dimainkan acara Hormat Selamet dengan membawakan lagu Angkat Selamet.
Dalam acara ekstra, lagu yang dibawakan antara lain: Jali-jali, Persi, Stambul,
Cente Manis, Seret Balok, Renggong Manis, dll.
Pertunjukkan Lenong diiringi orkes Gambang Kromong
dengan berbagai alat musik. Alat musik pukulnya Gambang, Kromong
(sejenis bonang), gendang, kempur, kecrek, gong; alat musik geseknya shu
kong (sejenis rebab besar) atau teh yan (rebab kecil); dan alat
tiupnya trompet, suling dan akordeon. Lagu-lagu pengiring pertunjukkan ini
terdiri atas lagu cina (misalnya siPatmo, Phobin Cu Tay) dan lagu Betawi
(misalnya Cente Manis, Jali-Jali). Lagu-lagu ini menggunakan tangga nada
pentatonis doremi.
Umumnya pertunjukkan Lenong dimainkan di atas panggung
yang disebut pentas tapal kuda. karena pemainnya masuk ke arena pertunjukan
dari sebelah kiri dan keluar arena dari sebelah kanan, sedang penontonnya
melihat hanya dari bagian depan. Masyarakat Betawi sering mementaskan
pertunjukan lenong dalam perayaan perkawinan atau khitanan. Kini
pertunjukan ini juga dipentaskan sebagai hiburan di pusat kesenian atau panggung
hiburan lainnya, bahkan di televisi.
Busana dan perlengkapan yang digunakan dalam
pertunjukan Lenong disesuaikan dengan jalan cerita yang dimainkan. Busana
yang dikenakan ini tergolong mewah dan gemerlap. Lenong Betawi dapat
dibagi menjadi dua yakni, Lenong Denes yang biasanya membawakan
lakon tentang kerajaan atau bangsawan, dan lenong preman yang
biasanya mengangkat cerita kehidupan masyarakat sehari-hari atau cerita tentang
jagoan-jagoan Betawi. Berdasarkan cara pertunjukan, cerita yang dibawakan, masyarakat
pendukungnya dsb, terdapat beberapa sebutan terhadap teater yang
tergolong Lenong itu, yakni: Lenong Dines, Wayang Senggol,
Wayang Sumedar, Lenong Preman dan Wayang si Ronda.
SAMRAH
Alat musik yang
membentuk Samrah adalah harmonium, biola, gitar, dan
tamborin. Kadang-kadang dilengkapi pula dengan rebana dan gendang.
Orkes Samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian.
Lagu yang dimainkan adalah Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah
Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang-lenggang
Kangkung, dsb. Terdapat berbagai versi tentang asal mula
disebut sebagai musik Samrah.
Musik Samrah dilahirkan di Betawi pada tahun 1918
dan berasal dari teater Riau Dulmuluk, yang dahulu dikenal sebagai
teater bangsawan. Kemudian musik itu dikenal sebagai
kesenian Samrah yang menyajikan cerita-cerita rakyat. Kesenian Samrah
dapat dikelompokkan menjadi empat periode yang dalam setiap periode
menggunakan alat musik yang berbeda. Musik Samrah
dipergunakan untuk mengiringi lagu dan tari.
Kostum yang dipakai pemain musik Samrah ada dua macam,
yaitu pertama peci, jas, dan kain pelekat; atau kedua peci,
baju sadariah, dan celana batik. Dewasa ini sering pula dikenakan
Jung Serong (ujungnya serong) yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol,
jas kerah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain batik yang
dililitkan di bawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul ke
bawah.
Penyebaran musik Samrah terbatas di daerah budaya
Betawi Tengah di Jakarta Pusat, antara lain di Tanah Abang, Cikini,
Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo.
Pendukung musik ini sebagian besar adalah masyarakat dari
golongan menengah, akan tetapi perkembangan kesenian ini semakin
menurun dan ikut serta dalam orkes-orkes lain, seperti Orkes
Keroncong dan Orkes Melayu.
SEJARAH JAKARTA
Laporan para penulis
Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi
bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran,
terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang.
Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang
ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama
Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah
mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah
yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda
datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti
menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri
Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi
Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar
lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai
kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia.
Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat
mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa
Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi
letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di
canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.
Sebuah keputusan
bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga
buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung
bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia
diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno
membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah
Putih untuk pertama kalinya dikibarkan.
Kedaulatan
Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia
menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta
memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju
pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat.
Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur
pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap
menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang
dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu
metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
·
Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
·
22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut
ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No.
6/D/K/1956).
·
4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama
Stad Batavia.
·
1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
·
8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
·
8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
·
September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota
Jakarta.
·
20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad
Gemeente Batavia.
·
24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
·
18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja
Djakarta Raya.
·
Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
·
31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama
Jakarta.
·
Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah
khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah
berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada
ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta
dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative
kepulauan seribu)
·
Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4700)
GAMBANG KROMONG
Sebuah orkes tradisional
Betawi yang merupakan orkes perpaduan antara gamelan, musik Barat dengan nada
dasar pentatonis bercorak Cina. Orkes ini memang erat hubungannya dengan
masyarakat Cina Betawi, terutama Cina peranakan dan populer di tahun 1930-an.
Instrumen gamelan pada gambang kromong terdiri dari:gambang kayu, seperangkat
bonang lima nada yang disebut kromong, dua buah alat gesek seperti rebab,
dengan resonator terbuat dari tempurung kelapa mini
disebut ohyan dan gihyan, suling laras diatonik yang ditiup
melintang, kenong dan gendang. Sedangkan instrumen musik dari Barat meliputi
terompet, gitar, biola, dan saksofon.
Sekitar tahun 1937 orkes-orkes gambang kromong mencapai puncak
popularitasnya, salah satu yang terkenal Gambang Kromong Ngo Hong Lao,
dengan pemainnya terdiri dari orang-orang Cina semua. Alat-alat musik dalam
orkestra tersebut dianggap paling lengkap, terdiri dari alat-alat seperti
berikut: sebuah gambang kayu; seperangkat kromong; empat buah rebab
Cina yang berbeda-beda ukurannya; alat petik berdawai disebut Sam Hian;
sebuah bangsing bambu; dua buah alat
jenis cengceng disebut ningnong; sepasang Pan, yakni dua
potong kayu yang saling dilagakan untuk memberimaat (tempo). Tangga nada
yang dipergunakan, bukanlah slendro seperti laras gamelan Jawa, Sunda
atau Bali, melainkan modus khas Cina, yang di negeri asalnya dahulu bernama
tangga nada Tshi Che; seperti yang di dengar pada gambang.
Susunan belanga-belanga kromongnya adalah sebagai berikut :
Susunan belanga-belanga kromongnya adalah sebagai berikut :
(A) (G) (E) (D) (C)
(D) (E) (C) (G) (A)
Adapun yang disebut "rebab cina", yang berukuran
paling besar dinamakansu kong, sesuai dengan laras dawai-dawainya, yang meniru
nada su dan nada kong. Rebab dengan ukuran menengah
disebut hoo siang, karena dawai-dawainya dilaras menurut nada hoo dan
nada siang. Rebab yang paling kecil dinamakan kong a hian, sesuai
dengan larasnya meniru bunyi nada-nada Cina. Rebab yang punya ukuran sedikit
lebih besar dari kong a hian, ialah yang bernama tee hian, yang
larasnya serupa dengan laras kong a hian.
Sam Hian adalah alat berdawai yang dimainkan dengan cara
dipetik seperti memainkan gitar; dan alat itu memainkan jalur melodi (nuclear
melody) dalam orkes tersebut. Ketiga dawainya dilaras dengan nama nada dengan
notasi demikian, apabila orkes Gambang Kromong memainkan lagu-lagu khas Cina
yang disebut Pat fem, maka dipergunakan pula tambahan alat tiup berupa
serunai, yakni dai sosa dan cai di (siao sona). Pada waktu pertama
kali muncul di Betawi, orkes ini hanya bernama gambang. Sejak awal abad ke-20,
mulai menggunakan instrumen tambahan, yaitu bonang atau kromong, sehingga orkes
ini dinamakan Gambang Kromong. Pada masa itu hampir setiap daerah di Betawi
memiliki orkes Gambang Kromong, bahkan tersebar sampai daerah Jatinegara,
Karawang, Bekasi, Cibinong, Bogar, Sukabumi, Tangerang, dan Serang.
Bagi orang Cina kaya, tauke-tauke atau babah-babah
pada masa "Batavia Centrum", sudah merupakan adat dan tradisi, untuk
memeriahkan bermacam ragam pesta dan perayaan mereka, dengan memanggil
perkumpulan gambang kromong untuk bermain. Misalnya pesta perkawinan,
rasanya tidak sempurna kalau belum memanggil orkes seperti itu ke dalam pesta.
Musik dan nyanyian dengan iringan gambang kromong, sudah lazim pula
dirasakan belum cukup asam garamnya, kalau belum disertai minum arak, brendi
atau alkohol. Pemain musiknya terdiri dari orang Betawi asli atau Cina.
Di dalam perayaan tradisional bangsa Cina, yaitu Cap Go
Meh tidak lupa dimeriahkan dengan Gambang Kromong. Repertoar Gambang
Kromong yang sangat dikenal oleh masyarakat penontonnya, antara lain: Pecah
Piring, Duri Rembang, Temenggung Menulis, Go Nio Rindu, Thio Kong len, Engko si
Baba, dan lain-lain. Selain itu gambang kromong, biasanya disertai pula
dengan lakon-lakon, seperti: Si Pitung, Pitung Rampok Betawi, Bonceng
Kawan, Angkri Digantung, dan lain-lain.
Adapun lagu Gambang Kromong yang terkenal
adalah Jali-Jali. Sedangkan lagu jenis Nina
Bobok kebanggaan Gambang Kromong, berJudul indung-indung. Orkes
ini memiliki repertoar asli dalam bahasa Cina, yang disebut sebagai lagu-lagu Phobin.
Karena para penyanyinya kebanyakan terdiri dari wanita-wanita pribumi, maka
repertoar Phobin tidak dinyanyikan, melainkan dimainkan sebagai
"gending" (instrumental). Hal itu, bukan karena komposisi-komposisi
tersebut memang bersifat gending, karena banyak di antaranya yang benar-benar
merupakan "Lied" atau lagu untuk nyanyian vokal. Di antara
lagu-lagu pobin ialah: Soe Say Hwee Bin (Joo Su
Say sudah kembali), Kim Hoa Tjoen (bunga Kim Hoa
berkembang), Pek Bouw Tan(bunga Bow Tan nan putih), Kong Djie
Lok, Djien Kwie Hwee (pulang kembalinya pahlawan bernama Siek
Jin Kwie).
Pada zaman dahulu, masa Hindia Belanda orkes-orkes Gambang
Kromong yang bersifat Cina-Indonesia itu, seringkali tidak mempunyai
biduanita-biduanita yang dapat menyanyikan Po-bin-po-bin dalam bahasa Cina.
Karena itulah lagu itu dimainkan secara instrumental saja, padahal sebagian
besar harus dinyanyikan, karena merupakan melodi-melodi vokal. Lagu-lagu
berbahasa Indonesia yang dimainkan oleh orkes Gambang Kromong ialah lagu memuja
bunga serta tokoh, misalnya Pecah-Piring, Duri Rembang, Temenggung
Menulis, Co Nio Rindu, Tion Kong In, Engko si Baba, dan selain itu cerita
mengenai peristiwa lampau, umpamanya Bonceng Kawan,cerita Pitung
Rampok Betawi, cerita Angkri Digantung di Betawi. Adapun salah
satu lagu pengantar tidur yang populer masa itu adalah indung-indung.
Gambang Kromong sebagai sekumpulan alat musik perpaduan yang
harmonis antara unsur pribumi dengan unsur Cina. Orkes Gambang Kromong tidak
terlepas dari jasa Nie Hoe Kong, seorang pemusik dan pemimpin golongan Cina
pada pertengahan abad XVIII di Jakarta. Atas prakarsanyalah, penggabungan
alat-alat musik yang biasa terdapat dalam gamelan (pelog dan selendro)
digabungkan dengan alat-alat musik yang berasal dari Tiongkok. Pada masa-masa
lalu, orkes Gambang Kromong hanya dimiliki oleh babah-babah peranakan yang
tinggal di sekitar Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Di samping untuk mengiringi
lagu, Gambang Kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tari pergaulan yakni
tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru dan teater Lenong.
KERONCONG TUGU
Musik keroncong digemari
oleh masyarakat Tugu di Jakarta Utara. Jenis musik inilah yang menjadi cikal
bakal keroncong asli Betawi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Keroncong
Tugu. Di tengah para pemukim Tugu, keroncong memang menemukan bentuk yang khas,
dibandingkan dengan kroncong Jawa, dari segi tempo keroncong Tugu lebih cepat
dan dinyanyikan lebih bersemangat. Karena itu, keroncong Tugu mudah dipakai
untuk mengiringi dansa. Perbedaan lainnya, gitar Tugu lain dari yang lain.
Ukurannya lebih kecil dari gitar biasa. Senarnya lima. Dan di kalangan penduduk
Tugu, gilar mini ini disebut "jitera" yang dibuat dati
batang pohon waru yang dibobok. Di zaman dulu, "empu" jitera yang
paling termasyur adalah Leonidas Salomons - kini sudah mendiang.
Jejak-jejak Portugis yang masih terlihat dalam keroncong Tugu,
di antaranya ialah lagu lama yang hampir setiap orang Indonesia pernah
dilelapkan tidurnya dalam buaian atau gendongan dengan lagu tersebut, yang
bernama. "Nina Bobok." Lagu ini pada masa lampau dinyanyikan pula
dengan gaya keroncong. Kata "Nina" berasal dari "cilik"
alias upik. Dalam zaman penjajahan di sekitar tahun tiga puluhan,
penyanyi-penyanyi keroncong yang "ngamen" dari restoran ke restoran
di kota Batavia, masih menyanyikan keroncong dengan bahasa Portugis.
"Bastiana, Bastiana
Bastiana minja our
Bastiana lensu
Komigu pinhor
Nang querflce tristo
Ficai concolaad
Com Algum dia mais
La fica djuntead ... "
Artinya:
"Bastiana, Bastiana
Bastiana, mestikaku
Setangan Bastiana
Ada bersamaku sebagai tanda
Jangan bersedih,
Tetapi, senangkan hatimu
Karma tak lama pula,
Kita akan bersatu."
Kertabhumi Negara
Dari blantika keroncong Tugu, tak bisa dilupakan nama Jacobus
Quiko, yang pada tahun 1975 menerima piagam penghargaan Gubernur DKI Jakarta.
Dialah, sejak 1939, memimpin Orkes Keroncong Tugu yang terbilang unik itu.
Bersamanya, dikenal Tante Christina, biduanita yang menerima penghargaan yang
sarna setahun sebelumnya. Moresco tentulah "lagu wajib"
yang tak bisa dipisahkan dari keroncong Tugu. Moresco asli bercerita tentang
seorang perawan Muslim asal Moro, yang kemudian termasyur sebagai penari. Ada
sepenggal kuplet Moresco dalam dialek Tugu: Anda-anda na bordi de
mare/Mienja korsan nunka contenti/Io buskaja mienja amadal Nunka sabe ela ja
undi. Adapun maknanya: Jauh-jauh mengarungi samudra/Hatiku tak pernah
ceria/Terus mencari belahan sukma/Tapi kini di manakah dia. Selain
Moresco, terdapat sejumlah lagu lain, yaitu: Kafrinyo, Prounga, Jankagaletti.
ONDEL-ONDEL
Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering tampil
dalam pesta-pesta rakyat. Permainan boneka khas masyarakat Betawi ini berupa
boneka raksasa yang dimainkan oleh seseorang yang masuk ke dalam boneka
tersebut sambil menari-nari menurut irama musik pengiringnya. Dalam menari
biasanya ondel-ondel ini berpasangan, boneka laki-laki dan boneka
wanita, tetapi ada juga ondel-ondel anak-anak.
Tampaknya Ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang
senantiasa menjaga anak cucunya. Oleh karena itu, Ondel-ondel dapat
dikatakan sebagai dayang desa.
Ondel-ondel adalah semacam boneka besar yang terbuat dari
bilah-bilah bambu yang diberi pakaian dan perhiasan seperti pengantin.
Ukurannya ada yang besar dan ada yang sedang, umpamanya tinggi sekitar 5 meter
dengan diameter 80 cm. Wajah ondel-ondel berupa topeng (kedok)
sepasang, laki-laki dan perempuan bermuka seram. Menurut kepercayaan masyarakat
Betawi ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan ketentraman
manusia dan juga sebagai kelengkapan ritual sesudah musim memotong padi. Namun
dalam perkembangannya, ondel-ondel sekarang digunakan untuk menambah
semarak pesta-pesta rakyat atau penyambutan tamu-tamu terhormat.
Ondel-ondel selalu ditampilkan berpasangan, kadang kala
beberapa pasang sehingga merupakan barisan Ondel-ondel. Tidak ada musik
khusus yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan ondel-ondel, ada
yang menggunakan gendang pencak Betawi, musik ningnong, tanjidor, gambang
kromong, dan rebana ketimprung. Biasanya terdiri dari ondel-ondellaki-laki
(wajahnya dicat merah) dan ondel-ondel perempuan (wajahnya dicat
putih). Bentuknya ringan sehingga mudah dalam membawanya di mana orang yang
membawa masuk ke dalamnya. Ondel-ondel ini sudah diwariskan secara
turun-menurun sejak lima generasi yang lalu.
Menurut kisahnya, diduga permainan ondel-ondel berusia
lebih tua daripada permainan kedok atau topeng.
Permainan' ondel-ondel berasal dari pengaruh Hindu yang membuatnya
sebagai lambang dewa-dewa penyelamat. Pada awalnya permainan ini digunakan
untuk pemujaan arwah nenek moyang atau tokoh yang dihormati.
Namun sekarang ini ondel-ondel lebih mengarah ke segi
hiburan, seperti pada pesta panen, penyambutan tamu atau pesta khitanan. Bahkan
berbagai tempat hiburan, misalnya Dunia Fantasi, menyediakan beberapa pasang
ondel ondel, biasanya bersama badut, untuk menghibur pengunjungnya. Dalam
pementasannya ondel-ondel diiringi alat musik berupa kendang, kenong dan
terompet.
Ondel-ondel ditampilkan pada berbagai perayaan desa seperti
pesta panen, penyambutan tamu serta berbagai perayaan resmi lainnya. Di daerah
lain di Jawa boneka raksasa seperti itu dikenal juga dengan bentuk yang
berbeda, antara lain di sekitar Gresik dan Madura. Maksud dan tujuan sebenarnya
mengadakan arak-arakan Ondel-ondel ternyata masih bertahan hingga
saat ini, dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.
GAMBANG RANCAG
Pergelaran Gambang Rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih
juru rancag yang menceritakan dengan atau dinyanyikan, diiringi orkes Gambang
Keromong. Sejak awal perkembangannya gambang rancag biasa memeriahkan
pesta-pesta, terutama dalam lingkungan terbatas, Biasanya dipentaskan tanpa
panggung, tempat pementasan letaknya sejajar dengan penonton yang berada
disekelilingnya.
Cerita-cerita yang dibawakan rombongan Gambang Rancag biasanya
mengenai peristiwa yang mengesankan bagi warga kota, seperti "Si
Pitung", "Angkri", "Delep" dan lain-lain. Sering pula
disajikan sketsa kehidupan atau gambaran sesuatu kehidupan, seperti rancangan
"Randa Bujang". Pada tahun dua puluhan juru Rancag Pergelaran Gambang
Rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan
atau dinyanyikan, diiringi orkes Gambang yang terkenal antara lain Jian,
seorang tuna netra yang memiliki suara "serak-serak basah", kata
orang Betawi. Apabila dia sedang berpantun menceritakan hal ikhwal "Si
Pitung", misalnya, atau tentang "Keramat Karem" atau kisah-kisah
lain dengan iringan lagu "Persi", para penonton seakan-akan menahan
nafas karena khawatir ada kata-kata yang luput dari pendengarannya.
Dari dahulu sampai sekarang pantun-pantun yang dibawakan
rombongan-rombongan Gambang Rancag disusun secara improvisasi, tanpa cerita
rombongan tertentu. Sering disesuaikan dengan tempat dan keadaan waktu
pergelaran. Kadang-kadang dipanjang-panjangkan, disertai bumbu-bumbu lelucon,
untuk menambah kegembiraan penonton. Lebih-lebih kalau malam semakin larut,
para perancag berusaha menghilangkan kantuk penonton dengan lawakan-lawakan
tanpa direncanakan terlebih dahili, mimik dan artikulasi memberikan
tekanan-tekanan pada cerita atau lawakan yang dibawakan.
Tokoh-tokoh gambang Rancag dewasa ini antara lain Samad Modo
dengan Jali alias Jalut dan Ma'in sebagai lawan mainnya, di Pekayon, Entong
Dale dengan Bedeh di Cijantung, Jakarta Timur: dan Amsar bersama Ali dan Minggu
di Bendungan Jago, Jakarta Pusat. Samad Modo, Amsar dan Rame Reyot telah
mendapat penghargaaan Gubernur KDKI Jakarta, sebagai seniman tua yang bertahan
salama tiga jaman.
Pada jaman lampau, penyebaran Gambang Rancag sama luasnya dengan
penyebaran Gambang Kromong, karena masing-masing rombongan gambang kromong
dilengkapi pula dengan juru Rancag. Dewasa ini sudah tidak banyak lagi seniman
Gambang Kromong yang pandai merancag.
GAMBUS
Hampir di semua kota di
Indonesia yang penduduknya banyak memeluk Agama Islam, biasanya lahir
musik Gambus. Berdasarkan pengamatan, musik Gambus tampaknya lebih banyak
dimainkan oleh warga keturunan Arab. Hal ini mungkin terkait dengan
lagu-Iagu yang ditampilkan pada awalnya umumnya bersyair dalam bahasa
Arab.
Di Jakarta, jenis musik ini telah menjadi milik masyarakat
Betawi. Musik Gambus biasa ditampilkan dalam berbagai acara, dari pesta
perkawinan sampai dengan acara kenegaraan resmi yang bernuansa Agama
Islam.
Peralatan musik Gambus bervariasi, namun yang baku pada
umumnya terdiri dari "Gambus", Biola, Dumbuk, Suling, Organ atau
Accordion dan Marawis. Selain sebagai musik mandiri, musik Gambus
dipergunakan pula untuk mengiringi tarian Japin yang biasa ditarikan oleh
pria berpasang-pasangan.
Pada tahun 1997 diadakan Loka Karya Musik Gambus dan
merintis pengembangan menjadi sebuah orkestra yang lebih besar,
dengan menggabungkan beberapa kelompok Musik Gambus yang ada di Jakarta.
Namun karena beberapa hambatan teknis, hasilnya
belum menggembirakan. Tokoh-tokoh musik Gambus di Jakarta diantaranya
Husnu Maad KH. Zainal Abidin Alhaddad dan Zein Alhaddad. Lagu-Iagu
yang ditampilkan biasanya berbahasa Arab, contohnya lagu-Iagu Gambus
yang pernah di jadikan lagu wajib lomba Qasidah Tingkat Nasional adalah
"Lisaani Bihamdillah", "Yamalaakal Hub", "Solla
Robbuna", "Asyroqol Badru", dan "Syarah Oala' "
GAMELAN AJENG
Lagu-lagu yang terdapat pada Ajeng Sumedang adalah
"Papalayon", "Engko", Titipati, Bayeman, Papalayon
Buyut, dan "Bondol Hejo". Bandingkan misalnya dengan repertoir
Aleng Gandaria pimpinan Radi sebagai berikut "Carabali",
"Timblang", "Gagambangan", "Matraman",
"Banjaran", dan "Jiro" yang biasa digunakan sebagai
berikut "Carabali", "Timblang",
"Gagambangan", "Matraman", "Banjaran", dan
"Jiro" yang biasa digunakan sebagai lagu penutup.Alat musik
gamelan Ajeng terdiri dari sebuah keromong sepuluh pencon, sebuah
terompet, gendang (terdiri dari dua buah gendang besar dan dua buah
kulanter), dua buah saron, sebuah bende, sebuah cemes (semacam cecempres),
sebuah kecrek kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua buah gong; gong
laki dan gong perempuan.
Gamelan Ajeng di wilayah budaya Betawi terdapat antara lain di
Kelapa Dua Wetan pimpinan Oking alias Peking, Gandaria pimpinan Radi
Suardi, cireundeu Kecamatan ciputat Tangerang pimpinan Neran, Pakopen
Tambun Kabupaten Bekasi pimpinan Sarah, Karanggan Pondok Gede
Kabupaten Bekasi pimpinan Saad.Dilihat dari lokasi penyebarannya tampak
bahwa daerah penyebaran Ajeng merupakan daerah perbatasan wilayah budaya
Betawi dengan wilayah budaya sunda. Dengan demikian tidak mengherankan
bilamana pengaruh Sunda pada Ajeng boleh dikatakan dominanl, disamping
memang Ajeng berasal dari sunda.
Namun demikian, bagaimana persamaan dan perbedaan Ajeng
Betawi dengan Ajeng Sunda yang antara lain terdapat di KampungPamijahan,
Panjalu di kampung Cikapas, Jalaterang, Kecamatan Kawali, keduanya di
Kabupaten ciamis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.Demikian pula dengan
Ajeng yang terdapat diwilayah Kabupaten Karawang yang lebih berdekatan
dengan Ajeng Betawi yang semuanya terdapat di wilayah budaya Betawi
pinggiran.Sebagai kesenian rakyat yang berkembang di daerah pinggiran
kotaJakarta dan sekitarnya, pendukung Ajeng yang utama adalah
kelompok masyarakat petani. Para pendukung aktifnya, yaitu penabuhnya
tidak ada yang mengandalkan penghidupannya dari kesenian yang didukungnya
itu, meiainkan pada umumnya memperoleh kebutuhan hidupnya dari usaha-usaha lain,
umumnya sebagai petani kecil-kecilan.
Gamelan Ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan
keluarga, seperti khitanan, perkawinan dan sebagainya. pada mulanya tidak
biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tetapi pada perkernbangan
kemudian digunakan pula sebagai pengiring tarian yang biasa disebut
Belenggo Ajeng, sebagaimana akan dikemukakan lagi pada bagian lain dari
tulisan ini.Dewasa ini, sesuai dengan perkembangan jaman dan selera
rnasyarakat pendukungnya, beberapa rombongan Ajeng menambah repertoarnya
dengan lagu-iagu Sunda pop, bahkan ada pula yang digunakan untuk
mengiringi tarian Jaipong yang mulai dasa warsa delapan puluhan
banyak penggemarnya.
SAHIBUL HIKAYAT
Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain Haji
Ja'far, Haji Maruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan
"Waik "Jait". Pekerjaan sehari-hari Wak Jait sebagai
tukang pangkas rambut di dekat Pasar Kambing Tanah Abang. Rumahnya di Kebon
Pala, bila bercerita di rumah yang empunya hajat Wak Jait selalu menggunakan
kain pelekat, berbaju potongan sadariah,berpeci hitam.
Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang
sambil memangku bantal, ada yang sekali-kali memukul gendangkecil yang di
letakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita.Sampai jaman
Mohammad Zaid yang meninggal dalam usia 63 tahun, pada tahun 1963,
cerita-cerita yang biasa dibawakan antara lain "Hasan Husin, Malakarma,
Indra sakti, Ahmad Muhamad, Sahrul Indra Laila Bangsawan dan lain-lain.
JINONG
Biasanya siang hari, menjelang malam pertunjukan jinong, sejak
jam 9 pagi sampai waktu menjelang Maghrib, ditempat orang hajatan yang
bersangkutan diperdengarkan lagu-Iagu tanjidor, baik instrumentalia maupun
disertai vokal.
Upacara ritual, seperti pembakaran dupa, penyediaan sesajen serba
tujuh rupa, berlaku seperti pada penyelenggaraan lenong. Tahap-tahap
pertunjukan jinong adalah sebagai berikut : Pertama, penyajian musik
instrumentalia dengan lagu-Iagu "Mares" dan lagu-Iagu
"Was", lagu-Iagu Sunda gunung seperti "Bangket", "Kang
Aji", "Oncom Lele" dan sebagainya, diteruskan dengan lagu-Iagu
gaya gambang kromong atau dewasa ini sering pula dibawakan lagulagu dangdut.
Ini merupakan pertanda pertunjukan akan dimulai, seolaholah mempersilahkan
penonton untuk mendekati tempat pertunjukan. Kemudian dipertunjukan tarian,
yang menurut istilah setempat disebut "Tari Jinong", diiringi
lagu-Iagu seperti yang sesuai dibawakan orkes gambang kromong, antara lain
lagu-Iagu "Persi", "Jali-jali", "Gelatik Nguknguk"
dan sebagainya.
Gerak tarinya sederhana sekali, seperti umumnya gerak tari
cokek, dengan rentangan tangan lebih rendah dari bahu. Cerita-cerita yang
dibawakan umumnya sama dengan cerita-cerita yang biasa dibawakan Ienang preman
atau wayang si ronda, yaitu ceritacerita jagoan, seperti "Si Jampang",
"Si Angkri Jago Pasar Ikan" dan sebagainya. Tokoh-tokoh Jinong yang
tercatat antara lain Orok di Pondok Rajeg, Warta di Cijantung, Liang di Parung.
Semasa masih hidup, Nyaat di Cijantung juga sering mendapat panggilan untuk
menyelenggarak pertunjukkan Jinong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar